oleh Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
Dewasa ini nyaris tidak ada orang yang tidak mengenal musik dalam
berbagai bentuknya. Musik hadir tidak cuma di acara seni, budaya atau
pesta, namun juga di upacara kenegaraan, olahraga, berita televisi,
hingga acara-acara keagamaan. Kalau di agama Nasrani atau Hindu, musik
memang dari dulu bagian integral dari ritual. Namun meski tidak menjadi
rukun ibadah, makin banyak acara keislaman yang diiringi dengan musik.
Alhamdulillah, belum perlu ada shalat atau khutbah yang diiringi
musik. Kalau seperti itu jelas bid’ah. Namun cobalah tengok berbagai
majelis dzikir, tabligh akbar atau istighotsah. Makin banyak suara
musik yang menjadi latar agar persiapan lebih syahdu, agar pergantian
acara lebih segar, atau agar suasana do’a lebih berkesan.
Sebagian orang menyangka bahwa musik memang terkait hadharah, dan orang
Islam tidak pantas ikut-ikutan. Sebagian ulama bahkan dengan tegas
mengharamkan musik. Namun kalau kita merujuk kepada nash,
akan ditemukan sejumlah dalil bahwa Rasul membolehkan bahkan
menganjurkan memainkan musik, seperti saat hari raya atau saat ada pesta
pernikahan. Tentu saja, kehalalan ini bersyarat, yakni tidak ada isi
lagu atau syair yang bertentangan dengan Islam, tidak ada aurat yang
dipamerkan, tidak ada ikhtilat (campur aduk antara laki-laki dengan
perempuan yang bukan mahram) dan tidak menghabiskan waktu dengan musik
sampai melalaikan berbagai kewajiban syar’i. Kalau syarat ini tidak
dipenuhi, niscaya musik itu akan melalaikan manusia dari cahaya iman,
dari dakwah, dari jihad, bahkan dari memenuhi kewajiban fardhiyahnya.
Musik jadi isi hidupnya. Musik bermetamorfosis menjadi agamanya. Dan
para musisi menjadi para Nabi atau bahkan Tuhan yang disembahnya.
Inilah yang terjadi di dunia Barat sekarang ini.
Ketika Khilafah Islam jaya, musik tidak pernah menjadi sesuatu yang
melalaikan. Bahkan kaum Muslimin pernah ikut berkontribusi dalam
teknologi musik.
Sejumlah besar alat musik yang dipakai di musik klasik Barat dipercaya
berasal dari alat musik Arab. Lute berasal dari “al-’ud”, rebec
(pendahulu dari violin) dari “rabab”, guitar dari “qitara”, naker dari
“naqareh”, adufe dari “al-duff”, alboka dari “al-buq”, anafil dari
“al-nafir”, exabeba (flute) dari “al-syabbaba”, atabal (bass drum)
dari “al-tabl”, atambal dari “al-tinbal”, sonajas de azofar dari
“sunuj al-sufr”, dan masih puluhan alat musik lainnya yang ternyata
berakar dari alat musik Arab.
Mengapa bisa demikian? Apakah karena memang orang Arab dulu senang
dengan musik? Ternyata kalau cuma itu halnya, pastilah musik mereka
tidak akan mendunia.
Penyebabnya ada dua: pertama, adalah kenyataan (lagi…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar