Rabu, 06 Maret 2013

Musik Yang Tidak Melalaikan


oleh Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
Dewasa ini nyaris tidak ada orang yang tidak mengenal musik dalam berbagai bentuknya.  Musik hadir tidak cuma di acara seni, budaya atau pesta, namun juga di upacara kenegaraan, olahraga, berita televisi, hingga acara-acara keagamaan.  Kalau di agama Nasrani atau Hindu, musik memang dari dulu bagian integral dari ritual.  Namun meski tidak menjadi rukun ibadah, makin banyak acara keislaman yang diiringi dengan musik.  Alhamdulillah, belum perlu ada shalat atau khutbah yang diiringi musik.  Kalau seperti itu jelas bid’ah.  Namun cobalah tengok berbagai majelis dzikir, tabligh akbar atau istighotsah.  Makin banyak suara musik yang menjadi latar agar persiapan lebih syahdu, agar pergantian acara lebih segar, atau agar suasana do’a lebih berkesan.
Sebagian orang menyangka bahwa musik memang terkait hadharah, dan orang Islam tidak pantas ikut-ikutan.  Sebagian ulama bahkan dengan tegas mengharamkan musik.  Namun kalau kita merujuk kepada nash, akan ditemukan sejumlah dalil bahwa Rasul membolehkan bahkan menganjurkan memainkan musik, seperti saat hari raya atau saat ada pesta pernikahan.  Tentu saja, kehalalan ini bersyarat, yakni tidak ada isi lagu atau syair yang bertentangan dengan Islam, tidak ada aurat yang dipamerkan, tidak ada ikhtilat (campur aduk antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram) dan tidak menghabiskan waktu dengan musik sampai melalaikan berbagai kewajiban syar’i.  Kalau syarat ini tidak dipenuhi, niscaya musik itu akan melalaikan manusia dari cahaya iman, dari dakwah, dari jihad, bahkan dari memenuhi kewajiban fardhiyahnya.  Musik jadi isi hidupnya.  Musik bermetamorfosis menjadi agamanya.  Dan para musisi menjadi para Nabi atau bahkan Tuhan yang disembahnya.  Inilah yang terjadi di dunia Barat sekarang ini.
Ketika Khilafah Islam jaya, musik tidak pernah menjadi sesuatu yang melalaikan.  Bahkan kaum Muslimin pernah ikut berkontribusi dalam teknologi musik.
Sejumlah besar alat musik yang dipakai di musik klasik Barat dipercaya berasal dari alat musik Arab.  Lute  berasal dari “al-’ud”, rebec (pendahulu dari violin) dari “rabab”, guitar  dari “qitara”, naker  dari “naqareh”, adufe  dari “al-duff”, alboka  dari “al-buq”, anafil  dari “al-nafir”, exabeba (flute)  dari “al-syabbaba”, atabal (bass drum)  dari “al-tabl”, atambal  dari “al-tinbal”, sonajas de azofar  dari “sunuj al-sufr”, dan masih puluhan alat musik lainnya yang ternyata berakar dari alat musik Arab.
Mengapa bisa demikian?  Apakah karena memang orang Arab dulu senang dengan musik?  Ternyata kalau cuma itu halnya, pastilah musik mereka tidak akan mendunia.
Penyebabnya ada dua: pertama, adalah kenyataan (lagi…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar