Oleh : Hamid Fahmy
Anggapan bahwa kebudayaan Barat lebih unggul
dibanding peradaban Islam telah lama ada dalam benak sebagian ummat
Islam, dan akhir-akhir ini anggapan itu terasa semakin kuat sehingga
mereka menganggap Islam perlu belajar dari Barat dalam segala hal,
bahkan termasuk dalam memahami Islam. Sementara itu terdapat pula
kalangan ummat Islam yang bersikap sebaliknya, yaitu menganggap
kebudayaan Barat tidak sesuai dengan peradaban Islam dan segala sesuatu
yang berasal dari Barat harus ditolak, padahal orang-orang ini pada saat
yang sama sedang menikmati hasil kepesatan teknologi Barat yang
dimanfaatkan oleh hampir seluruh Negara di dunia. Kedua anggapan diatas
sama ekstrimnya dan sudah dapat diduga bahwa keduanya tidak berangkat
dari pemahaman yang akurat tentang peradaban Islam dan kebudayaan Barat.
Kebudayaan Barat dan Problem umat Islam
Kebudayaan Barat (Western Civilization), sejarahnya,
adalah warisan yang dikembangkan oleh bangsa Eropah dari akar kebudayaan
Yunani kuno, yang kaya dengan konsep filsafat, ilmu pengetahuan,
politik, pendidikan dan kesenian, yang dicampur dengan kebudayaan Romawi
yang terkenal dengan rumusan undang-undang dan hukum serta prinsip
ketatanegaraan, dan unsur-unsur lain dari budaya bangsa-bangsa Eropah,
khususnya bangsa Jerman, Inggeris dan Perancis. Agama Kristen yang
tersebar ke Eropah justru lebih banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Barat
daripada mempengaruhi, sehingga dalam agama ini unsur-unsur kepercayaan
Yunani kuno, Rumawi, Mesir dan Persia. Inilah agama satu-satunya yang
pusat asalnya berpindah, yaitu dari Yerussalam ke Roma, Italy.
Ini pertanda bahwa agama ini telah diambil alih oleh bangsa Eropah.
Jadi kebudayaan Barat bukan berdasarkan pada agama Kristen, ia adalah
kebudayaan yang berdasarkan pada filsafat.
Oleh sebab itu perlu dicatat disini adalah bahwa
kepesatan perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi Barat
tidak berangkat dari ajaran agama. Ia adalah kebudayaan yang bersendikan
pandangan hidup sekuler. Pengaruh gelombang kebudayaan Barat melalui
kolonialisme dan imperialisme telah membawa dampak yang cukup serius
terhadap negara-negara dunia ketiga yang terjajah. Pandangan hidupnya
yang sekuler dan kultural itu mengandung elemen-elemen yang efektif
merubah atau sekurang-kurangnya mengacaukan pandangan hidup masyarakat
yang menjadi obyek westernisasi.
Gelombang modernisme ini mengingatkan kita pada
gelombang Hellenisme yang mengepakkan sayapnya ke berbagai pusat
kebudayaan dunia masa itu, termasuk ke dalam peradaban Islam. Dan untuk
itu perlu dibandingkan bagaimana kondisi ummat Islam ketika gelombang
itu melanda mereka. Di zaman Hellenisme ummat Islam memiliki kemampuan
dan kekuatan konseptual untuk mengadapsi atau mengislamkan filsafat
Yunani. Kekuatan konseptual itu untuk mengadapsi itu tidak lain adalah
ilmu pengetahuan yang berakar pada pandangan hidup Islam (Islamic
worldview). Sedangkan di zaman modern-postmodern ini ummat Islam tidak
memiliki kekuatan seperti dizaman menyebarnya gelombang Hellenisme.
Mengapa ummat Islam dizaman sekarang ini tidak
mempunyai kekuatan itu lagi? Jawabannya sungguh kompleks yang intinya
berkisar pada problem ilmu pengetahuan dan hal-hal yang diakibatkannya
dalam bentuk lingkaran setan. Jika sebab-sebab itu ditelusur dari sejak
kejatuhanBaghdad dan
kelemahan kekuasaan politik Islam di berbagai pelosok dunia, dampak
yang mendasar adalah timbulnya problem Ilmu. Kondisi politik saat itu
tidak kondusif untuk pengembangan ilmu, banyak ulama yang harus
berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga struktur masyarakt
tidak lagi mendukung untuk kelanjutan tradisi intelektual. Meskipun
kegiatan dalam skala kecil masih dapat terus berlangsung hingga kini.
Jika kita lacak dari problem ilmu yang berarti juga
problem pendidikan maka akibat langsungnya adalah rendahnya kualitas
pemimpin dan kondisi politik Islam yang akhirnya juga kembali lagi
berdampak kepada proses pengembangan ilmu pengetahuan di masyarakat.
Terlepas dari mana kita mencari sebab sebab utama kelemahan ummat, tapi
yang jelas situasi yang tidak kondusif bagi pengembangan ilmu
pengetahuan itu telah mengakibatkan lemahnya penguasaan ummat Islam
terhadap konsep-konsep sentral dan fundamental yang digali dari dalam
ajaran dan pandangan hidup Islam.
Selain jawaban dari kondisi internal ummat Islam,
terdapat pula bukti-bukti adanya faktor eksternal yang menjadi penyebab
kelemahan ummat. Selain sebab invasi militer yang kasat mata, juga
terdapat sebab non-fisik yang mempengaruhi pemikiran ummat Islam.
Sebab-sebab itu tidak lain dari pemikiran Barat yang merasuk kedalam dan
merusak pemikiran ummat Islam melalui berbagai bentuk dan medium. Dalam
bidang pendidikan, misalnya, konsep pendidikan sekuler yang dibawa
bersama dengan proses penjajahan membawa serta penyebaran
prinsip-prinsip ilmu, filsafat dan pandangan hidup Barat;
tradisi-tradisi kebudayaan sekuler disebarkan melalui medium hiburan,
nilai-nilai postmodernisme dengan konsep liberalismenya dibawa bersama
dengan konsep pasar bebas, teknologi informasi dan pemikiran filsafat.
Dalam bidang pemikiran Islam kajian Orientalisme
memang sudah lama dikenal sebagai kajian atau pemikiran Islam ala Barat,
yang tidak saja sarat dengan "religious prejudice" tapi juga diwarnai
oleh mind-set up yang sekuler dan cara brefikir yang dikotomis. Bagi
cendekiawan Muslim yang tidak memiliki framework kajian Islam yang mapan
dan juga tidak mempunyai pemahaman yang jeli tentang karakter berfikir
dikotomis Barat, tentu akan mengagumi pemikiran para orientalis itu dan
serta merta memakainya dalam pemikiran keagamaan mereka. Karena memang
teknik penulisan para Orientalis itu benar-benar mengikuti standar
ilmiah. Tapi bukankah kebohongan dan kepalsuan itu juga dapat terjadi
dalam dunia ilmiah?
Kini jelaslah bahwa berbeda dari kondisi ummat
dizaman gelombang Hellenisme, dizaman modern-postmodern ini kondisi
ummat Islam sangat lemah, khususnya dibidang ilmu pengetahuan. Dalam
kondisi yang lemah inilah arus pemikiran Barat telah masuk kedalam
pemikiran ummat Islam melalui berbagai bidang kehidupan dan keilmuan,
sehingga konsep-konsep mereka merembes kedalam pemikiran ummat Islam
tanpa proses adaptasi secara konseptual. Akibatnya, konsep-konsep Islam
dan Barat difahami secara tumpang tindih (overlapp) dalam skala luas.
Bahkan diantara kalangan muda Muslim ada yang beranggapan bahwa
Islamisasi adalah sekularisasi. Ketika konsep-konsep dari kedua
kebudayaan itu telah dianggap sama, maka masyarakat Muslim terkondisi
untuk menyimpulkan bahwa "antara Islam dan Barat tidak ada perbedaan
yang berarti"; "keduanya adalah produk manusia dan untuk kebaikan nasib
ummat manusia"; "tidak semua yang dari Barat harus kita tolak", "agar
dapat maju Islam harus belajar dari Barat" dan ungkapan-ungkapan
kesimpulan yang serupa.
Persoalannya kesimpulan-kesimpulan yang menganggap
Barat adalah sama dengan Islam itu timbul dari pikiran ummat Islam
disaat mereka berada pada kondisi yang lemah secara konseptual dan dari
pemahaman yang kurang akurat tentang esensi kebudayaan Barat. Dalam
situasi seperti ini apa yang diperlukan adalah ekposisi secara apa
adanya tentang hakekat pandangan hidup Barat yang menjadi dasar
kebudayaannya. Karya Prof.Dr.S.M.N.al-Attas, yang berjudul "Risalah
Untuk Kaum Muslimin", menjelaskan dengan sangat komprehensif esensi
kebudayaan Barat dan perbedaannya dengan Islam.
Oleh karena itu terapi yang tepat untuk membangun
peradaban Islam adalah melalui pembenahan dalam bidang ilmu pengetahuan
dimana konsep-konsep yang asli Islam digali kembali. Disinilah konsep
Islamisasi Ilmu Pengetahuan kontemporer merupakan jawaban yang tepat
untuk menghadapi arus modernisme, sekularisme, liberalisme dan lain-lain
yang berasal dari Barat.
Peradaban Islam Berbeda dari kebudayaan Barat yang
berasaskan pada filsafat, peradaban Islam berlandaskan pada agama Islam
yang berasal dari wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Esensi
peradaban Islam dapat ditelusur melalui kajian konsep-konsep kunci
didalamnya, seperti 'ilm, 'amal, adab, din dan sebagainya. Berfikir dan
berilmu dalam Islam adalah kewajiban yang sama derajatnya dengan
kewajiban beramal saleh, bahkan iman merupakan sesuatu yang concomitant
pada kesemua kegiatan berfikir dan beramal, dalam artian keberadaan yang
satu tidak sempurna tanpa disertai oleh yang lain. Proses psikologis
dan psikis yang terpadu ini sudah di set dalam diri manusia sebagai
potensialitas yang jika diaktualisasikan secara proporsional ia akan
memenuhi tujuan penciptaannya sebagai sebaik-baik makhluk Tuhan (ahsunu
taqwim) dan sebaliknya ia akan menjadi makhluk yang paling hina (asfala
safilin). Di Barat berfikir rasional yang membawa kepada doktrin
rasionalisme tidak memiliki dimensi iman dan amal. Lagipun, konsep akal
bukan sekedar bermakna mind, ia meliputi qalb, fuad, bashar, aql dan
sebagainya; dan karena itu konsep berfikir dalam Islam bukan sekedar
bermakna reasoning dalam pengertian Barat, tapi lebih kaya dari itu dan
meliputi unsur-unsur kejiwaan yang lebih menyeluruh seperti tafakkur,
tadabbur, ta'aqqul.
Konsep berfikir ini juga berkaitan dengan konsep
'ilmu yang merupakan pemberian Allah Yang Maha Suci kepada manusia. Jika
rasionalitas adalah esensi Islam, maka para filosof Barat yang
menjunjung prinsip rasionalitas itu dapat disebut Ulama yang dapat
dipastikan takut kepada Allah (yakhshallah), padahal sejatinya tidak.
Jika rasionalitas dikaitkan dengan 'ilm maka ia tidak dapat dipisahkan
dari iman, dan orang yang berilmu itu menjadi superior jika ia berangkat
dari atau berdasarkan pada iman kepada Allah (Lihat Qur'an 58:11).
Sebelum seseorang beriman ia perlu mengetahui apa
yang diimaninya, dan seorang mukmin harus berilmu agar dapat beramal.
Ilmu tanpa amal adalah gila, kata al-Ghazzali, dan amal tanpa ilmu
adalah sombong. Amal tanpa ilmu lebih banyak merusak daripada
memperbaiki dan amal tanpa ilmu akan menyesatkan, kata para ahli hikmah.
Jadi ilmu adalah prasyarat bagi amal dan memiliki peranan sentral dalam
peradaban Islam.
Peradaban adalah derivasi dari kata adab. Adab
sesungguhnya berarti jamuan makan yang dalam konteks ini al-Qur'an
merupakan jamuan spiritual (ma'dubah) yang terbaik bagi ummat manusia.
Maka para ulama terdahulu mengartikan adab sebagai ilmu, ta'dib adalah
pendidikan atau pananaman ilmu dan konsekuensi terkati seperti iman,
amal, dan akhlak. Ta'dib adalah usaha pengkaderan manusia-manusia
beradab, yaitu manusia yang mempunyai ilmu dan mempunyai moralitas yang
tinggi atau manusia-manusia yang ilmunya disertai amal dan sebaliknya.
Manusia beradab adalah individu yang dapat menempatkan sesuatu sesuai
dengan kedudukan dan tempatnya; individu yang dapat menempatkan
kedudukan dirinya dihadapan Penciptanya dan dikalangan masyarakatnya.
Jika ia seorang rakyat jelata ia mengetahui hak dan kewajibannya, jika
ia seorang pemimpin ia mengerti arti keadilan dan berlaku adil, jika ia
seorang ulama ia berani mengatakan yang hak dan yang batil kepada
siapapun dan dimanapun, jika ia seorang seorang wakil rakyat (politisi)
ia dapat meletakkan (memilih) seseorang sesuai dengan kapasitas dan
keutamaannya baik dihadapan Tuhan maupun dan dihadapan manusia (rakyat).
Jika kita memahami adab seperti itu, maka kita harus
merubah pemahaman kita terhadap makna peradaban selama ini. Peradaban
adalah suatu struktur sosial dan spiritual yang merupakan sumbangan
Islam yang berharga bagi ummat manusia. Realitas sosial dan spiritual
itu harus difahami secara integral, tidak dapat dipisah-pisahkan atau
dilihat secara sendiri-sendiri tanpa saling-berkaitan seperti dalam
tradisi dan kebudayaan Barat.
Oleh sebab itu peradaban Islam tidak sama dengan
kebudayaan Barat atau kebudayaan asing lainnya, karena akarnya memang
berbeda. Di Barat masyarakat berbudaya atau civil society hanya
menggambarkan kedudukan individu-individu itu dihadapan Negara, sedang
masyarakat beradab menggambarkan kedudukan individu dihadapan Tuhan dan
didepan masyarakatnya sekaligus. Struktur civil society tidak melibatkan
unsur-unsur spiritual, sedang struktur masyarakat beradab adalah
kombinasi aspek-aspek fisikal dan spiritual yang sesuai dengan esensi
kemanusiaannya. Manusia berbudaya adalah manusia yang tunduk pada
aturan-aturan Negara, sedang manusia beradab tunduk pada perintah Tuhan,
aturan Negara dan masyarakatnya sekaligus. Dalam civil society Tuhan
"tidak boleh campur tangan" mengenai urusan negara, sedang dalam
masyarakat beradab aturan-aturan dan perintah Tuhan mengejawantah dalam
setiap gerak individu masyarakat dan pemimpin Negara dan menghiasai
berbagai gerak dan kegiatan institusi negara, dalam suatu bangunan
peradaban yang manusiawi.
Atas dasar itu iman, ilmu dan amal setiap individu
masyarakat adalah sine qua non dalam bangunan peradaban Islam, yang
aktualisasinya pasti tercermin secara institusional dan tak
terbantahkan, baik dalam bentuk organisasi sosial, partai politik,
lembaga pendidikan, bahkan Negara. Sebaliknya, organisasi sosial, partai
politik, lembaga pendidikan dan juga Negara yang dibentuk oleh
individu-individu Muslim yang tidak beradab atau yang memenuhi prasyarat
bagi pembentukan bangunan peradaban Islam hanya akan menjadi
simbol-simbol dan wadah-wadah yang secara substantif tidak mencerminkan
wajah peradaban Islam bahkan mungkin malah merusaknya.
Kesimpulan
Ringkasnya, Islam adalah agama yang berangkat dari kebenaran mutlak dari wahyu Tuhan yang dalam dirinya terdapat nilai universal yang dapat mengakomodir kebudayaan dan pemikiran asing dengan melalui proses Islamisasi. Sedangkan Barat adalah kebudayaan yang bermula dari spekulasi akal belaka yang tiada memiliki rujukan kepada kebenaran mutlak dan tiada akan pernah mencapai kebenaran. Masalah yang dihadapi kebudayaan Islam hakekatnya bukanlah kemunduran dalam bidang-bidang yang sifatnya fisikal, akan tetapi adalah kerancuan (tumpah tindih) pemikiran, yaitu antara konsep-konsep Islam dan konsep-konsep Barat sekuler. Karena itu perbedaan dan pembedaan Islam dan Barat perlu dilakukan secara konsisten, agar dapat mengenali asal usul suatu konsep dan pemikiran dan mengetahui proses ilmiah selanjutnya, apakah harus diadapsi atau ditolak. Islamisasi bukanlah adopsi pemikiran asing kedalam Islam, tapi lebih merupakan adapsi pemikiran luar dengan proses epistemologis yang meletakkan realitas dan kebenaran dalam suatu kesatuan tawhidi. Kita tidak anti Barat tapi bukan pula menganggap Barat sama atau bahkan lebih unggul dalam segala segi dari Islam. Kita dapat mengambil manfaat dari kemajuan teknologi Barat, tapi tidak dapat meniru pandangan hidup Barat yang sama sekali berbeda dari pandangan hidup Islam.
Ringkasnya, Islam adalah agama yang berangkat dari kebenaran mutlak dari wahyu Tuhan yang dalam dirinya terdapat nilai universal yang dapat mengakomodir kebudayaan dan pemikiran asing dengan melalui proses Islamisasi. Sedangkan Barat adalah kebudayaan yang bermula dari spekulasi akal belaka yang tiada memiliki rujukan kepada kebenaran mutlak dan tiada akan pernah mencapai kebenaran. Masalah yang dihadapi kebudayaan Islam hakekatnya bukanlah kemunduran dalam bidang-bidang yang sifatnya fisikal, akan tetapi adalah kerancuan (tumpah tindih) pemikiran, yaitu antara konsep-konsep Islam dan konsep-konsep Barat sekuler. Karena itu perbedaan dan pembedaan Islam dan Barat perlu dilakukan secara konsisten, agar dapat mengenali asal usul suatu konsep dan pemikiran dan mengetahui proses ilmiah selanjutnya, apakah harus diadapsi atau ditolak. Islamisasi bukanlah adopsi pemikiran asing kedalam Islam, tapi lebih merupakan adapsi pemikiran luar dengan proses epistemologis yang meletakkan realitas dan kebenaran dalam suatu kesatuan tawhidi. Kita tidak anti Barat tapi bukan pula menganggap Barat sama atau bahkan lebih unggul dalam segala segi dari Islam. Kita dapat mengambil manfaat dari kemajuan teknologi Barat, tapi tidak dapat meniru pandangan hidup Barat yang sama sekali berbeda dari pandangan hidup Islam.